Jumat, 25 Februari 2011
Rabu, 09 Februari 2011
Menjadi Bisiman
Aku harus berhenti memikirkannya. Kalau tidak, itu akan membuatnya memikirkanku. Cukup dirinya saja yang ia pikirkan. Aku harus berhenti memikirkan Ibu. Aku akan menjadi Bisiman meski aku Kirana.
Ibu sudah berada di sampingku. Aku mudah mendengar suara napasnya yang tergesa-gesa. Ia ngos-ngosan. Dandanan moleknya seketika luntur karena keringat membanjiri jidatnya. Lalu keringat itu mengalir ke pelipisnya. Turun ke ujung hidungnya yang mancung. Mendekati bibir. Ibu mengusapnya. Pagi buta begini Ibu sudah berkeringat. Pemandangan yang biasa sejak seminggu yang lalu. Sejak Ibu divonis penjara 10 tahun dan denda 2,5 milyar.
“Nih. Saya cinta kamu, Kirana.”
Ibu melukiskan senyum terindahnya. Sok terang. Terkesan dipaksakan. Ya, aku tahu dia hanya pura-pura. Aku bisa melihat kegelapan di matanya, kesinisan di senyumnya. Di bibirnya. Meski warna lipstiknya merah menyala.
Lalu Ibu pergi meninggalkan sebuah kantong kresek hitam kecil di meja komputerku. Setelah menciumku, Ibu pergi.
Delapan menit yang lalu aku masih asyik dengan tut-tut Logitech yang empuk. Aku sedang mengetik. Menulis. Menulis tentang aku.
Mari kubacakan tulisanku.
“Namaku Kirana. Kata Ibu namaku itu berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya sinarnya cantik dan molek. Umurku genap delapan belas tahun mulai kemarin. Namun aku tak cukup dewasa sebagai orang yang sudah setahun memiliki KTP. Aku manja, aku nakal, aku egois. Egois karena masih sempat memikirkan Ibu, padahal Ibu telah melarangku keras-keras.
Aku masih ingat. Di pesta ulang tahunku kemarin – dimana hanya ada aku, Ibu, satu lilin yang biasa dinyalakan saat mati lampu, dan nasi goreng spesial buatan Ibu – wanita sok muda itu berkata, ‘Mulai usiamu ini, berhentilah memikirkan saya, berhenti bercerita, menulis, berangan, bermimpi tentang saya. Dunia kita akan berbeda. Kamu hidup di jalanmu dan saya hidup di – meski – bukan jalan saya namun harus saya jalani. Tidak perlu menemui saya walaupun kamu ingin saya mencicipi kue buatanmu. Besok saya pergi, tunggu sepuluh tahun lagi saya kembali. Kalau kamu mau, jangan mengganti nomor ponselmu. Mungkin aku akan tinggal beberapa hari di rumah baru bersama suamimu sampai aku mendapatkan rumah sendiri.’ Aku sempat berkilah namun Ibu malah menyuruhku meniup lilin. Banyak hal yang akan berubah. Tetapi tidak dengan aku yang akan terus mengukir Ibu di hatiku.”
Ya, satu yang baru kusadari berubah adalah Ibu memanggil dirinya di depanku dengan kata ‘saya’, bukan ‘Ibu’. Ia seakan memaksaku menganggap dirinya bukan siapaku lagi. Dia orang lain. Dia bukan Ibu. Dia adalah ‘saya’. SIAL!
Ini semua karena pengacara dan pak hakim itu. Mereka semua goblok! Kuliah dimana sih sampai bisa memasukkan Ibu ke penjara dengan tuntutan yang tidak masuk akal?
Ibu menjadi tersangka di kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di sebuah bank daerah. Bukan bank yang terkenal. Namun bisa-bisanya melaporkan Ibu tersangkut paut dengan kejadian yang kini menjadi artis di program berita nasional!
Iya benar. Ibu jadi artis bukan karena video lipsing-nya melainkan karena bapak yang duduk di kursi tertinggi meja hijau, karena tuntutannya yang bohong. Ibu ada di mana-mana. Di televisi, di frekuensi AM, di lapak-lapak Koran, di mulut-mulut pengusaha, di website-website, di rekaman amatir, di pikiran-pikiran penikmat warung tegal. Bahkan di celotehan tetangga sebelah yang masih SD. Keeksisan Ibu melebihi penyanyi terkenal yang baru saja dikabarkan menjadi gembong distribusi narkotika di Sleman, bahkan melebihi Presiden.
Dan semua media membuat Ibu tak semuda biasanya. Lihat saja. Ibu tampak langsing padahal sedang tidak diet. Brownies buatanku hanya ia makan segigit lalu dibiarkannya lalat menikmatinya. Tulang clavicle-nya kini terbentang tak indah di bahunya. Rambutnya tak ia rawat. Polesan make up asli Paris tak mampu lagi menyihir keluar aura kecantikan Ibu. Matanya sayu, bengkak, dan gelap. Ada hitam di lingkaran matanya. Bibirnya terkadang kutemukan bergetar hebat tanpa sebab.
Ibu syok. Ibu berhak begitu. Atas tudingan yang tak ia lakukan, Ibu berhak marah. Namun hukum membungkam mulutnya. Dan juga mulutku. Kami tak dapat menyangkal, atau kami berdua yang akan masuk penjara dengan tuntutan membiarkan tersangka bebas dan menutupi kebenaran. BAH! Kebenaran apanya? Kebenaran yang tak dibela hukum. Hukum yang tidak membela kebenaran. Hukum yang dipermainkan uang. Asu!
Aku hanya boleh pasrah. Ibu juga. Kami wanita korban pemfitnahan. Menyedihkan.
Aku sering marah pada diriku sendiri. Pada namaku. Marah dengan Kirana. Kesal dengan ‘sinarnya cantik dan molek’. Kenapa? Karena aku tak dapat menyinari Ibu yang gelap karena hukum. Semakin kusinari, semakin gelap matanya. Semakin menyedihkan hidupnya. Semakin terbebani punggungnya.
Nama. Kamu sangat kubenci. Kirana. Kamu namaku tapi bukan aku.
Kenapa ia tak memberiku nama Bisiman saja? Kubaca di website arti nama-nama aneh, Bisiman adalah ‘suka sibuk terus’. Kutaksir ini berasal dari kata ‘busy man’. Meski aneh dan dan terkesan plesetan, namun aku rela kok mengganti nama. Sehingga aku selalu sibuk dan tidak sempat memikirkan Ibu sampai sepuluh tahun mendatang. Boleh kuganti namaku, Kirana menjadi Bisiman? Memang bukan nama perempuan, tapi aku suka kesibukan dan menghilangkan Ibu sejenak dari pikiranku. Seperti yang dia peringatkan.
Selama aku menulis ini, deruman mobil yang tak lama lagi disita menggema di rumah kami. Ibu telah pergi. Aku tak ingin mengantarnya ke lembaga pemasyarakatan. Bisa-bisa aku tak kembali ke rumah saking tak mau lepasnya dari Ibu. Kubilang aku manja, kan?
Rumah sebesar ini telah ditinggalkan Ibu. Sebentar lagi aku juga mengosongkannya. Aku akan mengungsi ke rumah nenek dan melanjutkan studiku di Melbourne. Setelah lulus aku ingin bekerja di sana. Apa saja. Konsultan desainer, penjahit, pemiliki warteg, pengemis, penyanyi, penulis. Apa saja akan kulakoni. Kutabung duit untuk kembali ke Banten. Mencari suami, membeli rumah, menunggu Ibu sampai masa tahanannya berakhir.
Ya, itulah rencana hidupku sepuluh tahun mendatang. Semuanya kukembalikan kepada Tuhan, seperti aku menitipkan Ibu kepadaNya.
Eh, aku lupa kresek hitam yang tadi diberikan Ibu.
Aaaaahh… aduh, air mataku membanjir.
Donat gula, pisang goreng, dan risoles sayur pasar Subuh.
Suguhan terakhir Ibu. Kuhabiskan donat gula dalam tiga gigit saja. Ah sial. Baru setengah jam ditinggal Ibu, aku sudah kangen. Bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpanya selama sepuluh tahun? Mau dikejar juga tak terkejar. Ibu pasti mendekati Cipinang.
Aku harus berhenti memikirkannya. Kalau tidak, itu akan membuatnya memikirkanku. Cukup dirinya saja yang ia pikirkan. Aku harus berhenti memikirkan Ibu. Aku akan menjadi Bisiman meski aku Kirana.
Ibu sudah berada di sampingku. Aku mudah mendengar suara napasnya yang tergesa-gesa. Ia ngos-ngosan. Dandanan moleknya seketika luntur karena keringat membanjiri jidatnya. Lalu keringat itu mengalir ke pelipisnya. Turun ke ujung hidungnya yang mancung. Mendekati bibir. Ibu mengusapnya. Pagi buta begini Ibu sudah berkeringat. Pemandangan yang biasa sejak seminggu yang lalu. Sejak Ibu divonis penjara 10 tahun dan denda 2,5 milyar.
“Nih. Saya cinta kamu, Kirana.”
Ibu melukiskan senyum terindahnya. Sok terang. Terkesan dipaksakan. Ya, aku tahu dia hanya pura-pura. Aku bisa melihat kegelapan di matanya, kesinisan di senyumnya. Di bibirnya. Meski warna lipstiknya merah menyala.
Lalu Ibu pergi meninggalkan sebuah kantong kresek hitam kecil di meja komputerku. Setelah menciumku, Ibu pergi.
Delapan menit yang lalu aku masih asyik dengan tut-tut Logitech yang empuk. Aku sedang mengetik. Menulis. Menulis tentang aku.
Mari kubacakan tulisanku.
“Namaku Kirana. Kata Ibu namaku itu berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya sinarnya cantik dan molek. Umurku genap delapan belas tahun mulai kemarin. Namun aku tak cukup dewasa sebagai orang yang sudah setahun memiliki KTP. Aku manja, aku nakal, aku egois. Egois karena masih sempat memikirkan Ibu, padahal Ibu telah melarangku keras-keras.
Aku masih ingat. Di pesta ulang tahunku kemarin – dimana hanya ada aku, Ibu, satu lilin yang biasa dinyalakan saat mati lampu, dan nasi goreng spesial buatan Ibu – wanita sok muda itu berkata, ‘Mulai usiamu ini, berhentilah memikirkan saya, berhenti bercerita, menulis, berangan, bermimpi tentang saya. Dunia kita akan berbeda. Kamu hidup di jalanmu dan saya hidup di – meski – bukan jalan saya namun harus saya jalani. Tidak perlu menemui saya walaupun kamu ingin saya mencicipi kue buatanmu. Besok saya pergi, tunggu sepuluh tahun lagi saya kembali. Kalau kamu mau, jangan mengganti nomor ponselmu. Mungkin aku akan tinggal beberapa hari di rumah baru bersama suamimu sampai aku mendapatkan rumah sendiri.’ Aku sempat berkilah namun Ibu malah menyuruhku meniup lilin. Banyak hal yang akan berubah. Tetapi tidak dengan aku yang akan terus mengukir Ibu di hatiku.”
Ya, satu yang baru kusadari berubah adalah Ibu memanggil dirinya di depanku dengan kata ‘saya’, bukan ‘Ibu’. Ia seakan memaksaku menganggap dirinya bukan siapaku lagi. Dia orang lain. Dia bukan Ibu. Dia adalah ‘saya’. SIAL!
Ini semua karena pengacara dan pak hakim itu. Mereka semua goblok! Kuliah dimana sih sampai bisa memasukkan Ibu ke penjara dengan tuntutan yang tidak masuk akal?
Ibu menjadi tersangka di kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di sebuah bank daerah. Bukan bank yang terkenal. Namun bisa-bisanya melaporkan Ibu tersangkut paut dengan kejadian yang kini menjadi artis di program berita nasional!
Iya benar. Ibu jadi artis bukan karena video lipsing-nya melainkan karena bapak yang duduk di kursi tertinggi meja hijau, karena tuntutannya yang bohong. Ibu ada di mana-mana. Di televisi, di frekuensi AM, di lapak-lapak Koran, di mulut-mulut pengusaha, di website-website, di rekaman amatir, di pikiran-pikiran penikmat warung tegal. Bahkan di celotehan tetangga sebelah yang masih SD. Keeksisan Ibu melebihi penyanyi terkenal yang baru saja dikabarkan menjadi gembong distribusi narkotika di Sleman, bahkan melebihi Presiden.
Dan semua media membuat Ibu tak semuda biasanya. Lihat saja. Ibu tampak langsing padahal sedang tidak diet. Brownies buatanku hanya ia makan segigit lalu dibiarkannya lalat menikmatinya. Tulang clavicle-nya kini terbentang tak indah di bahunya. Rambutnya tak ia rawat. Polesan make up asli Paris tak mampu lagi menyihir keluar aura kecantikan Ibu. Matanya sayu, bengkak, dan gelap. Ada hitam di lingkaran matanya. Bibirnya terkadang kutemukan bergetar hebat tanpa sebab.
Ibu syok. Ibu berhak begitu. Atas tudingan yang tak ia lakukan, Ibu berhak marah. Namun hukum membungkam mulutnya. Dan juga mulutku. Kami tak dapat menyangkal, atau kami berdua yang akan masuk penjara dengan tuntutan membiarkan tersangka bebas dan menutupi kebenaran. BAH! Kebenaran apanya? Kebenaran yang tak dibela hukum. Hukum yang tidak membela kebenaran. Hukum yang dipermainkan uang. Asu!
Aku hanya boleh pasrah. Ibu juga. Kami wanita korban pemfitnahan. Menyedihkan.
Aku sering marah pada diriku sendiri. Pada namaku. Marah dengan Kirana. Kesal dengan ‘sinarnya cantik dan molek’. Kenapa? Karena aku tak dapat menyinari Ibu yang gelap karena hukum. Semakin kusinari, semakin gelap matanya. Semakin menyedihkan hidupnya. Semakin terbebani punggungnya.
Nama. Kamu sangat kubenci. Kirana. Kamu namaku tapi bukan aku.
Kenapa ia tak memberiku nama Bisiman saja? Kubaca di website arti nama-nama aneh, Bisiman adalah ‘suka sibuk terus’. Kutaksir ini berasal dari kata ‘busy man’. Meski aneh dan dan terkesan plesetan, namun aku rela kok mengganti nama. Sehingga aku selalu sibuk dan tidak sempat memikirkan Ibu sampai sepuluh tahun mendatang. Boleh kuganti namaku, Kirana menjadi Bisiman? Memang bukan nama perempuan, tapi aku suka kesibukan dan menghilangkan Ibu sejenak dari pikiranku. Seperti yang dia peringatkan.
Selama aku menulis ini, deruman mobil yang tak lama lagi disita menggema di rumah kami. Ibu telah pergi. Aku tak ingin mengantarnya ke lembaga pemasyarakatan. Bisa-bisa aku tak kembali ke rumah saking tak mau lepasnya dari Ibu. Kubilang aku manja, kan?
Rumah sebesar ini telah ditinggalkan Ibu. Sebentar lagi aku juga mengosongkannya. Aku akan mengungsi ke rumah nenek dan melanjutkan studiku di Melbourne. Setelah lulus aku ingin bekerja di sana. Apa saja. Konsultan desainer, penjahit, pemiliki warteg, pengemis, penyanyi, penulis. Apa saja akan kulakoni. Kutabung duit untuk kembali ke Banten. Mencari suami, membeli rumah, menunggu Ibu sampai masa tahanannya berakhir.
Ya, itulah rencana hidupku sepuluh tahun mendatang. Semuanya kukembalikan kepada Tuhan, seperti aku menitipkan Ibu kepadaNya.
Eh, aku lupa kresek hitam yang tadi diberikan Ibu.
Aaaaahh… aduh, air mataku membanjir.
Donat gula, pisang goreng, dan risoles sayur pasar Subuh.
Suguhan terakhir Ibu. Kuhabiskan donat gula dalam tiga gigit saja. Ah sial. Baru setengah jam ditinggal Ibu, aku sudah kangen. Bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpanya selama sepuluh tahun? Mau dikejar juga tak terkejar. Ibu pasti mendekati Cipinang.
Aku harus berhenti memikirkannya. Kalau tidak, itu akan membuatnya memikirkanku. Cukup dirinya saja yang ia pikirkan. Aku harus berhenti memikirkan Ibu. Aku akan menjadi Bisiman meski aku Kirana.
Ketidakterbatasan di perbatasan yang terbatas
Pagi ini saya menonton redaksi kontroversi di sebuah televisi nasional. Mereka menarasikan sebuah dusun di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ya, di pedalaman Kalimantan Barat sana. Dusun Badat. Bukan nama Jawa, agak sulit diingat.
Untuk sampai ke dusun itu butuh waktu 1 jam dari daerah yang agak cukup sedikit modern di seberang sungai dengan menaiki perahu. Biaya sewa perahu mencapai 1,5 juta. Aku sempat mengumpat. Nyebrang sungai aja kayak mau beli handphone, mahal banget! Namun sekian detik rekaman itu diputar, 1,5 juta tak sebanding dengan banyaknya rupiah yang harus dikumpulkan untuk membangun dan memanusiakan Badat.
Tidak ada bata, jalan raya, apalagi warung waralaba. Listrik? Bah! Mencari listrik di Badat seperti mencari uang 1 M dengan menjadi pengamen selama sehari. Mustahil ditemukan! Hanya ada susunan bambu rapih yang tak pantas untuk ditinggali dan beberapa tali jemuran yang terbentang layaknya kabel-kabel di langit perumahanku.
Kamera menyorot nenek tua yang sedang duduk di pelataran rumah. Tangannya sibuk menggoyang-goyangkan nampan bambu. Ratusan butir beras terbang ke udara ketika ia mengangkat nampannya. Satu dua detik lensa tak kunjung pergi dari kulit wajahnya yang melorot dari rangka. Keriputnya bukan menggambarkan ia lemah melainkan menceritakan kerasnya hidup di daerah perbatasan yang telah ia lalui denga gagah perkasa.
Lalu seorang lelaki mungil terpampang imut di layar televisiku. Ia berdiri di pinggir jembatan rumahnya. Ia memeluk tiang jembatan. Matanya polos menatap kali di lingkaran rumahnya. Atau ia sedang bingung melihat sekawanan broadcaster di atas sampan? Menurutku ia bingung dengan alat berat yang mereka bawa. Tripod, kamera, handycam. Apa itu? Pasti baru kali ini bocah itu melihatnya. Wajahnya malu-malu takut. Seolah pekerja media itu akan membunuhnya dengan belasan alat elektonik mereka.
Yang menggetarkan jiwa kepedulianku adalah Phroni. Bocah sipit yang doyan memamerkan gigi kuningnya di depan kamera. Ia tinggal bersama ibunya di rumah bambu bertingkat. Tidak, mereka tidak sekaya itu. Mereka menumpang. Tak mampu menyusun bambu untuk ditinggali.
Setiap pagi Phroni membantu ibunya di dapur, meniup kayu bakar untuk memasak air. Setelah ia berenang gratis di kali, terbungkus sudah badan coklatnya dengan seragam yang tak kalah coklat. Lusuh tak bersetrika. Teriakan riang dari bawah memaksa Phroni menyalami tangan Ibu yang licin. Bau asap kayu bakar perlahan-lahan masuk ke tenggorokannya ketika ia mencium punggung tangan Ibu. Phroni siap berangkat ke sekolah.
Saat diwawancara, Ibu Phroni mengaku senang bisa menyekolahkan anak tunggalnya. Ia tak mau anaknya sesial dirinya dan bapaknya. Tidak bersekolah.
“Saya mau anak saya sekolah yang rajin, yang tinggi, biar jadi orang yang berhasil.” Sebaris kalimat terjemahan terbaca begitu di layarku.
“Ya, jauh, Kak. Berangkat jam tujuh, sampai sekolah jam delapan,” begitu cerita Phroni kepadaku. Benar, dia seakan berbagi rutinitasnya kepadaku. Kalau kalian menonton, mungkin kalian merasakan hal yang sama.
Mataku dipaksa mengikuti langkahnya mencampakkan ranting-tanting yang terkapar tajam di lantai hutan. Phroni dan ketiga temannya berjalan menuju SD 4 Badat Baru menyusuri pohon-pohon besar yang bisa kapan saja tumbang dimakan usia. Kakinya tak gentar menapaki batu-batu meski tanpa sepatu atau sendal sekalipun.
Aku terharu. Tidak sampai menangis karena aku tidak cengeng. Dadaku tiba-tiba berat. Seakan ada batu es yang tiba-tiba menghujam. Perih dan dingin. Oh malangnya nasib Phroni, aku mengasihani.
Kalau saja Phroni tidak tahan seperti teman lainnya di dusun, mungkin kini ia sedang asyik dengan pancingannya, atau kembali meneruskan tiupannya pada kayu bakar di dapur. Ya, teman lainnya tak sabar menimba ilmu layaknya menimba sumur sedalam satu kilometer. Tidak seperti Phroni.
Melihat kegigihan Phroni, nada bass dari balik kamera berbunyi, “Kamu mengapa sekolah?”
Ah benar juga. Kalau aku jadi Phroni, mungkin aku akan malas ke sekolah. Tidak rela telapak kakiku kapalan dan tebal diselimuti tanah hutan. Tidak mau aku diejek memakai seragam bekas, walaupun teman sekolah yang lain sama, seragamnya juga tak putih lagi. Lebih baik memancing ikan. Menyenangkan, tak perlu buang tenaga, dan aku bisa bermain menunggu umpanku dimakan binatang berprotein tinggi itu. Enakan meniup kayu bakar. Meski sesak namun bisa mengurangi kelelahan Ibu dan tersungginglah senyum Ibu di mataku.
Eh si Phroni, bocah sok kuat itu menjawab, “Aku ingin menjadi dokter, biar bisa mengobati Ibu kalau Ibu sakit.”
JLEB! Oh sial. Ketidakmauanku ditepas tuntas oleh bocah yang pasti tak tahu betapa sulitnya menjadi dokter. Eh, dia malah dengan senyum ompongnya mengucapkan ingin menjadi dokter dengan mudahnya. Semudah ia menyibakkan poni Ryan D’Massive-nya.
Aku meremehkan lalu mengutuk diri. Ingatanku kembali berputar menyiarkan cerita penggugah semangat Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Benar juga. Mereka tinggal di pedalaman dan bisa menjadi sukses seperti sekarang karena mereka tak malu memiliki impian. Menulis cita-cita tinggi. Seperti Phroni yang sangat bangga dengan cita-citanya, dokter.
Tuhan memang tidak mengubah suatu kaum kalau kaum itu tidak mengubah nasib mereka sendiri.
Siapa yang tahu kalau dua puluh tahun lagi Dusun Badat terkenal karena seorang dokter bernama Phroni? Sehingga Ibu tak perlu memecah celengan ayamnya karena Phroni akan memberinya perawatan plus-plus tanpa bayaran. Sehingga tak harus lagi warga dusun mengarungi sungai menahan sakit selama sejam untuk berobat di daerah seberang karena Phroni sudah membukat klinik di sana. Sehingga Ibu tak butuh lagi meniup kayu bakar untuk menyeduh air, cukup memutar tuas kompor gas saja. Sehingga anak-anak Dusun Badat tidak usah berjalan kaki masuk hutan untuk bersekolah. Aku yakin Phroni bisa membuat sekolah dekat dusunnya dengan pekerjaan ia sebagai dokter.
Semua bisa tercapai kalau Phroni mau berubah. Phroni sudah mulai mengganti penanya untuk menulis kisah baru dalam kehidupannya. Dengan bersekolah.
Redaksi yang menyayat hati tersuguh bersama bakwan dan STMJ panas di kamar sembilan meter persegiku. Sebuah curahan penyemangat dari dusun perbatasan dengan segala keterbatasannya namun juga memiliki impian yang tidak terbatas. Ada ketidakterbatasan di perbatasan yang terbatas.
Sepuluh menit rekaman berakhir, aku mengganti program televisi yang memutar otak kita di pagi hari. Itu loh acara yang jargonnya, “Pinter nggak tuh?”
Ada satu pertanyaan mudah yang bisa mengantarkan peserta mendapatkan hadiah senilai 50 juta rupiah. 2x2x2x2x2 = ....?
Yap. Itu pertanyaannya. Seandainya aku kenal Phroni, akan kuajak Phroni mengikuti acara itu. Dia pasti dengan cepat mengangkat papan jawabannya dan tidak keluar dari area pertandingan.
Seorang wanita cantik dengan rambutnya yang tergerai pasrah namun indah didatangi Adik Guru – panggilan sang MC. Adik Guru bingung melihat simbol-simbol hitam di atas papan jawaban artis berbaju ketat itu. Lekukan tubuhnya tak seindah lukisan senyum MC. Simbol-simbol itu adalah 1246.
Menjawab kebingungan MC, sang artis membacakan jawabannya dengan senyuman bangga.
Aku melongo. Ha? Dua pangkat lima kok seribu dua ratus empat puluh enam? Jauh banget. Aduh ini cantik-cantik kok (maaf) bego banget sih?!
Hhhh... inilah Indonesia. Ketika ada satu bocah tak bersekolah layak di pedalaman, di belahan ibu kota metropolitan dan sok kebarat-baratan ada artis molek anak kuliahan elit tak tahu pelajaran matematika dasar. Dasar!
Saya berterima kasih kepada Phroni dan artis molek yang sudah mau menampangkan kepolosan kalian di depan publik. Saya terinspirasi :). Tulisan ini ada sedikit perubahan dari rekaman asli namun tak mengubah intisari.
Untuk sampai ke dusun itu butuh waktu 1 jam dari daerah yang agak cukup sedikit modern di seberang sungai dengan menaiki perahu. Biaya sewa perahu mencapai 1,5 juta. Aku sempat mengumpat. Nyebrang sungai aja kayak mau beli handphone, mahal banget! Namun sekian detik rekaman itu diputar, 1,5 juta tak sebanding dengan banyaknya rupiah yang harus dikumpulkan untuk membangun dan memanusiakan Badat.
Tidak ada bata, jalan raya, apalagi warung waralaba. Listrik? Bah! Mencari listrik di Badat seperti mencari uang 1 M dengan menjadi pengamen selama sehari. Mustahil ditemukan! Hanya ada susunan bambu rapih yang tak pantas untuk ditinggali dan beberapa tali jemuran yang terbentang layaknya kabel-kabel di langit perumahanku.
Kamera menyorot nenek tua yang sedang duduk di pelataran rumah. Tangannya sibuk menggoyang-goyangkan nampan bambu. Ratusan butir beras terbang ke udara ketika ia mengangkat nampannya. Satu dua detik lensa tak kunjung pergi dari kulit wajahnya yang melorot dari rangka. Keriputnya bukan menggambarkan ia lemah melainkan menceritakan kerasnya hidup di daerah perbatasan yang telah ia lalui denga gagah perkasa.
Lalu seorang lelaki mungil terpampang imut di layar televisiku. Ia berdiri di pinggir jembatan rumahnya. Ia memeluk tiang jembatan. Matanya polos menatap kali di lingkaran rumahnya. Atau ia sedang bingung melihat sekawanan broadcaster di atas sampan? Menurutku ia bingung dengan alat berat yang mereka bawa. Tripod, kamera, handycam. Apa itu? Pasti baru kali ini bocah itu melihatnya. Wajahnya malu-malu takut. Seolah pekerja media itu akan membunuhnya dengan belasan alat elektonik mereka.
Yang menggetarkan jiwa kepedulianku adalah Phroni. Bocah sipit yang doyan memamerkan gigi kuningnya di depan kamera. Ia tinggal bersama ibunya di rumah bambu bertingkat. Tidak, mereka tidak sekaya itu. Mereka menumpang. Tak mampu menyusun bambu untuk ditinggali.
Setiap pagi Phroni membantu ibunya di dapur, meniup kayu bakar untuk memasak air. Setelah ia berenang gratis di kali, terbungkus sudah badan coklatnya dengan seragam yang tak kalah coklat. Lusuh tak bersetrika. Teriakan riang dari bawah memaksa Phroni menyalami tangan Ibu yang licin. Bau asap kayu bakar perlahan-lahan masuk ke tenggorokannya ketika ia mencium punggung tangan Ibu. Phroni siap berangkat ke sekolah.
Saat diwawancara, Ibu Phroni mengaku senang bisa menyekolahkan anak tunggalnya. Ia tak mau anaknya sesial dirinya dan bapaknya. Tidak bersekolah.
“Saya mau anak saya sekolah yang rajin, yang tinggi, biar jadi orang yang berhasil.” Sebaris kalimat terjemahan terbaca begitu di layarku.
“Ya, jauh, Kak. Berangkat jam tujuh, sampai sekolah jam delapan,” begitu cerita Phroni kepadaku. Benar, dia seakan berbagi rutinitasnya kepadaku. Kalau kalian menonton, mungkin kalian merasakan hal yang sama.
Mataku dipaksa mengikuti langkahnya mencampakkan ranting-tanting yang terkapar tajam di lantai hutan. Phroni dan ketiga temannya berjalan menuju SD 4 Badat Baru menyusuri pohon-pohon besar yang bisa kapan saja tumbang dimakan usia. Kakinya tak gentar menapaki batu-batu meski tanpa sepatu atau sendal sekalipun.
Aku terharu. Tidak sampai menangis karena aku tidak cengeng. Dadaku tiba-tiba berat. Seakan ada batu es yang tiba-tiba menghujam. Perih dan dingin. Oh malangnya nasib Phroni, aku mengasihani.
Kalau saja Phroni tidak tahan seperti teman lainnya di dusun, mungkin kini ia sedang asyik dengan pancingannya, atau kembali meneruskan tiupannya pada kayu bakar di dapur. Ya, teman lainnya tak sabar menimba ilmu layaknya menimba sumur sedalam satu kilometer. Tidak seperti Phroni.
Melihat kegigihan Phroni, nada bass dari balik kamera berbunyi, “Kamu mengapa sekolah?”
Ah benar juga. Kalau aku jadi Phroni, mungkin aku akan malas ke sekolah. Tidak rela telapak kakiku kapalan dan tebal diselimuti tanah hutan. Tidak mau aku diejek memakai seragam bekas, walaupun teman sekolah yang lain sama, seragamnya juga tak putih lagi. Lebih baik memancing ikan. Menyenangkan, tak perlu buang tenaga, dan aku bisa bermain menunggu umpanku dimakan binatang berprotein tinggi itu. Enakan meniup kayu bakar. Meski sesak namun bisa mengurangi kelelahan Ibu dan tersungginglah senyum Ibu di mataku.
Eh si Phroni, bocah sok kuat itu menjawab, “Aku ingin menjadi dokter, biar bisa mengobati Ibu kalau Ibu sakit.”
JLEB! Oh sial. Ketidakmauanku ditepas tuntas oleh bocah yang pasti tak tahu betapa sulitnya menjadi dokter. Eh, dia malah dengan senyum ompongnya mengucapkan ingin menjadi dokter dengan mudahnya. Semudah ia menyibakkan poni Ryan D’Massive-nya.
Aku meremehkan lalu mengutuk diri. Ingatanku kembali berputar menyiarkan cerita penggugah semangat Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Benar juga. Mereka tinggal di pedalaman dan bisa menjadi sukses seperti sekarang karena mereka tak malu memiliki impian. Menulis cita-cita tinggi. Seperti Phroni yang sangat bangga dengan cita-citanya, dokter.
Tuhan memang tidak mengubah suatu kaum kalau kaum itu tidak mengubah nasib mereka sendiri.
Siapa yang tahu kalau dua puluh tahun lagi Dusun Badat terkenal karena seorang dokter bernama Phroni? Sehingga Ibu tak perlu memecah celengan ayamnya karena Phroni akan memberinya perawatan plus-plus tanpa bayaran. Sehingga tak harus lagi warga dusun mengarungi sungai menahan sakit selama sejam untuk berobat di daerah seberang karena Phroni sudah membukat klinik di sana. Sehingga Ibu tak butuh lagi meniup kayu bakar untuk menyeduh air, cukup memutar tuas kompor gas saja. Sehingga anak-anak Dusun Badat tidak usah berjalan kaki masuk hutan untuk bersekolah. Aku yakin Phroni bisa membuat sekolah dekat dusunnya dengan pekerjaan ia sebagai dokter.
Semua bisa tercapai kalau Phroni mau berubah. Phroni sudah mulai mengganti penanya untuk menulis kisah baru dalam kehidupannya. Dengan bersekolah.
Redaksi yang menyayat hati tersuguh bersama bakwan dan STMJ panas di kamar sembilan meter persegiku. Sebuah curahan penyemangat dari dusun perbatasan dengan segala keterbatasannya namun juga memiliki impian yang tidak terbatas. Ada ketidakterbatasan di perbatasan yang terbatas.
Sepuluh menit rekaman berakhir, aku mengganti program televisi yang memutar otak kita di pagi hari. Itu loh acara yang jargonnya, “Pinter nggak tuh?”
Ada satu pertanyaan mudah yang bisa mengantarkan peserta mendapatkan hadiah senilai 50 juta rupiah. 2x2x2x2x2 = ....?
Yap. Itu pertanyaannya. Seandainya aku kenal Phroni, akan kuajak Phroni mengikuti acara itu. Dia pasti dengan cepat mengangkat papan jawabannya dan tidak keluar dari area pertandingan.
Seorang wanita cantik dengan rambutnya yang tergerai pasrah namun indah didatangi Adik Guru – panggilan sang MC. Adik Guru bingung melihat simbol-simbol hitam di atas papan jawaban artis berbaju ketat itu. Lekukan tubuhnya tak seindah lukisan senyum MC. Simbol-simbol itu adalah 1246.
Menjawab kebingungan MC, sang artis membacakan jawabannya dengan senyuman bangga.
Aku melongo. Ha? Dua pangkat lima kok seribu dua ratus empat puluh enam? Jauh banget. Aduh ini cantik-cantik kok (maaf) bego banget sih?!
Hhhh... inilah Indonesia. Ketika ada satu bocah tak bersekolah layak di pedalaman, di belahan ibu kota metropolitan dan sok kebarat-baratan ada artis molek anak kuliahan elit tak tahu pelajaran matematika dasar. Dasar!
Saya berterima kasih kepada Phroni dan artis molek yang sudah mau menampangkan kepolosan kalian di depan publik. Saya terinspirasi :). Tulisan ini ada sedikit perubahan dari rekaman asli namun tak mengubah intisari.
Senin, 10 Januari 2011
Selasa, 23 November 2010
Langganan:
Postingan (Atom)