Rabu, 09 Februari 2011

Ketidakterbatasan di perbatasan yang terbatas

Pagi ini saya menonton redaksi kontroversi di sebuah televisi nasional. Mereka menarasikan sebuah dusun di perbatasan Indonesia-Malaysia. Ya, di pedalaman Kalimantan Barat sana. Dusun Badat. Bukan nama Jawa, agak sulit diingat.

Untuk sampai ke dusun itu butuh waktu 1 jam dari daerah yang agak cukup sedikit modern di seberang sungai dengan menaiki perahu. Biaya sewa perahu mencapai 1,5 juta. Aku sempat mengumpat. Nyebrang sungai aja kayak mau beli handphone, mahal banget! Namun sekian detik rekaman itu diputar, 1,5 juta tak sebanding dengan banyaknya rupiah yang harus dikumpulkan untuk membangun dan memanusiakan Badat.

Tidak ada bata, jalan raya, apalagi warung waralaba. Listrik? Bah! Mencari listrik di Badat seperti mencari uang 1 M dengan menjadi pengamen selama sehari. Mustahil ditemukan! Hanya ada susunan bambu rapih yang tak pantas untuk ditinggali dan beberapa tali jemuran yang terbentang layaknya kabel-kabel di langit perumahanku.

Kamera menyorot nenek tua yang sedang duduk di pelataran rumah. Tangannya sibuk menggoyang-goyangkan nampan bambu. Ratusan butir beras terbang ke udara ketika ia mengangkat nampannya. Satu dua detik lensa tak kunjung pergi dari kulit wajahnya yang melorot dari rangka. Keriputnya bukan menggambarkan ia lemah melainkan menceritakan kerasnya hidup di daerah perbatasan yang telah ia lalui denga gagah perkasa.

Lalu seorang lelaki mungil terpampang imut di layar televisiku. Ia berdiri di pinggir jembatan rumahnya. Ia memeluk tiang jembatan. Matanya polos menatap kali di lingkaran rumahnya. Atau ia sedang bingung melihat sekawanan broadcaster di atas sampan? Menurutku ia bingung dengan alat berat yang mereka bawa. Tripod, kamera, handycam. Apa itu? Pasti baru kali ini bocah itu melihatnya. Wajahnya malu-malu takut. Seolah pekerja media itu akan membunuhnya dengan belasan alat elektonik mereka.

Yang menggetarkan jiwa kepedulianku adalah Phroni. Bocah sipit yang doyan memamerkan gigi kuningnya di depan kamera. Ia tinggal bersama ibunya di rumah bambu bertingkat. Tidak, mereka tidak sekaya itu. Mereka menumpang. Tak mampu menyusun bambu untuk ditinggali.

Setiap pagi Phroni membantu ibunya di dapur, meniup kayu bakar untuk memasak air. Setelah ia berenang gratis di kali, terbungkus sudah badan coklatnya dengan seragam yang tak kalah coklat. Lusuh tak bersetrika. Teriakan riang dari bawah memaksa Phroni menyalami tangan Ibu yang licin. Bau asap kayu bakar perlahan-lahan masuk ke tenggorokannya ketika ia mencium punggung tangan Ibu. Phroni siap berangkat ke sekolah.

Saat diwawancara, Ibu Phroni mengaku senang bisa menyekolahkan anak tunggalnya. Ia tak mau anaknya sesial dirinya dan bapaknya. Tidak bersekolah.

“Saya mau anak saya sekolah yang rajin, yang tinggi, biar jadi orang yang berhasil.” Sebaris kalimat terjemahan terbaca begitu di layarku.

“Ya, jauh, Kak. Berangkat jam tujuh, sampai sekolah jam delapan,” begitu cerita Phroni kepadaku. Benar, dia seakan berbagi rutinitasnya kepadaku. Kalau kalian menonton, mungkin kalian merasakan hal yang sama.

Mataku dipaksa mengikuti langkahnya mencampakkan ranting-tanting yang terkapar tajam di lantai hutan. Phroni dan ketiga temannya berjalan menuju SD 4 Badat Baru menyusuri pohon-pohon besar yang bisa kapan saja tumbang dimakan usia. Kakinya tak gentar menapaki batu-batu meski tanpa sepatu atau sendal sekalipun.

Aku terharu. Tidak sampai menangis karena aku tidak cengeng. Dadaku tiba-tiba berat. Seakan ada batu es yang tiba-tiba menghujam. Perih dan dingin. Oh malangnya nasib Phroni, aku mengasihani.

Kalau saja Phroni tidak tahan seperti teman lainnya di dusun, mungkin kini ia sedang asyik dengan pancingannya, atau kembali meneruskan tiupannya pada kayu bakar di dapur. Ya, teman lainnya tak sabar menimba ilmu layaknya menimba sumur sedalam satu kilometer. Tidak seperti Phroni.

Melihat kegigihan Phroni, nada bass dari balik kamera berbunyi, “Kamu mengapa sekolah?”
Ah benar juga. Kalau aku jadi Phroni, mungkin aku akan malas ke sekolah. Tidak rela telapak kakiku kapalan dan tebal diselimuti tanah hutan. Tidak mau aku diejek memakai seragam bekas, walaupun teman sekolah yang lain sama, seragamnya juga tak putih lagi. Lebih baik memancing ikan. Menyenangkan, tak perlu buang tenaga, dan aku bisa bermain menunggu umpanku dimakan binatang berprotein tinggi itu. Enakan meniup kayu bakar. Meski sesak namun bisa mengurangi kelelahan Ibu dan tersungginglah senyum Ibu di mataku.

Eh si Phroni, bocah sok kuat itu menjawab, “Aku ingin menjadi dokter, biar bisa mengobati Ibu kalau Ibu sakit.”

JLEB! Oh sial. Ketidakmauanku ditepas tuntas oleh bocah yang pasti tak tahu betapa sulitnya menjadi dokter. Eh, dia malah dengan senyum ompongnya mengucapkan ingin menjadi dokter dengan mudahnya. Semudah ia menyibakkan poni Ryan D’Massive-nya.

Aku meremehkan lalu mengutuk diri. Ingatanku kembali berputar menyiarkan cerita penggugah semangat Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Benar juga. Mereka tinggal di pedalaman dan bisa menjadi sukses seperti sekarang karena mereka tak malu memiliki impian. Menulis cita-cita tinggi. Seperti Phroni yang sangat bangga dengan cita-citanya, dokter.

Tuhan memang tidak mengubah suatu kaum kalau kaum itu tidak mengubah nasib mereka sendiri.

Siapa yang tahu kalau dua puluh tahun lagi Dusun Badat terkenal karena seorang dokter bernama Phroni? Sehingga Ibu tak perlu memecah celengan ayamnya karena Phroni akan memberinya perawatan plus-plus tanpa bayaran. Sehingga tak harus lagi warga dusun mengarungi sungai menahan sakit selama sejam untuk berobat di daerah seberang karena Phroni sudah membukat klinik di sana. Sehingga Ibu tak butuh lagi meniup kayu bakar untuk menyeduh air, cukup memutar tuas kompor gas saja. Sehingga anak-anak Dusun Badat tidak usah berjalan kaki masuk hutan untuk bersekolah. Aku yakin Phroni bisa membuat sekolah dekat dusunnya dengan pekerjaan ia sebagai dokter.

Semua bisa tercapai kalau Phroni mau berubah. Phroni sudah mulai mengganti penanya untuk menulis kisah baru dalam kehidupannya. Dengan bersekolah.

Redaksi yang menyayat hati tersuguh bersama bakwan dan STMJ panas di kamar sembilan meter persegiku. Sebuah curahan penyemangat dari dusun perbatasan dengan segala keterbatasannya namun juga memiliki impian yang tidak terbatas. Ada ketidakterbatasan di perbatasan yang terbatas.

Sepuluh menit rekaman berakhir, aku mengganti program televisi yang memutar otak kita di pagi hari. Itu loh acara yang jargonnya, “Pinter nggak tuh?”

Ada satu pertanyaan mudah yang bisa mengantarkan peserta mendapatkan hadiah senilai 50 juta rupiah. 2x2x2x2x2 = ....?

Yap. Itu pertanyaannya. Seandainya aku kenal Phroni, akan kuajak Phroni mengikuti acara itu. Dia pasti dengan cepat mengangkat papan jawabannya dan tidak keluar dari area pertandingan.

Seorang wanita cantik dengan rambutnya yang tergerai pasrah namun indah didatangi Adik Guru – panggilan sang MC. Adik Guru bingung melihat simbol-simbol hitam di atas papan jawaban artis berbaju ketat itu. Lekukan tubuhnya tak seindah lukisan senyum MC. Simbol-simbol itu adalah 1246.

Menjawab kebingungan MC, sang artis membacakan jawabannya dengan senyuman bangga.
Aku melongo. Ha? Dua pangkat lima kok seribu dua ratus empat puluh enam? Jauh banget. Aduh ini cantik-cantik kok (maaf) bego banget sih?!

Hhhh... inilah Indonesia. Ketika ada satu bocah tak bersekolah layak di pedalaman, di belahan ibu kota metropolitan dan sok kebarat-baratan ada artis molek anak kuliahan elit tak tahu pelajaran matematika dasar. Dasar!

Saya berterima kasih kepada Phroni dan artis molek yang sudah mau menampangkan kepolosan kalian di depan publik. Saya terinspirasi :). Tulisan ini ada sedikit perubahan dari rekaman asli namun tak mengubah intisari.