Rabu, 09 Februari 2011

Menjadi Bisiman

Aku harus berhenti memikirkannya. Kalau tidak, itu akan membuatnya memikirkanku. Cukup dirinya saja yang ia pikirkan. Aku harus berhenti memikirkan Ibu. Aku akan menjadi Bisiman meski aku Kirana.



Ibu sudah berada di sampingku. Aku mudah mendengar suara napasnya yang tergesa-gesa. Ia ngos-ngosan. Dandanan moleknya seketika luntur karena keringat membanjiri jidatnya. Lalu keringat itu mengalir ke pelipisnya. Turun ke ujung hidungnya yang mancung. Mendekati bibir. Ibu mengusapnya. Pagi buta begini Ibu sudah berkeringat. Pemandangan yang biasa sejak seminggu yang lalu. Sejak Ibu divonis penjara 10 tahun dan denda 2,5 milyar.



“Nih. Saya cinta kamu, Kirana.”



Ibu melukiskan senyum terindahnya. Sok terang. Terkesan dipaksakan. Ya, aku tahu dia hanya pura-pura. Aku bisa melihat kegelapan di matanya, kesinisan di senyumnya. Di bibirnya. Meski warna lipstiknya merah menyala.



Lalu Ibu pergi meninggalkan sebuah kantong kresek hitam kecil di meja komputerku. Setelah menciumku, Ibu pergi.



Delapan menit yang lalu aku masih asyik dengan tut-tut Logitech yang empuk. Aku sedang mengetik. Menulis. Menulis tentang aku.



Mari kubacakan tulisanku.



“Namaku Kirana. Kata Ibu namaku itu berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya sinarnya cantik dan molek. Umurku genap delapan belas tahun mulai kemarin. Namun aku tak cukup dewasa sebagai orang yang sudah setahun memiliki KTP. Aku manja, aku nakal, aku egois. Egois karena masih sempat memikirkan Ibu, padahal Ibu telah melarangku keras-keras.

Aku masih ingat. Di pesta ulang tahunku kemarin – dimana hanya ada aku, Ibu, satu lilin yang biasa dinyalakan saat mati lampu, dan nasi goreng spesial buatan Ibu – wanita sok muda itu berkata, ‘Mulai usiamu ini, berhentilah memikirkan saya, berhenti bercerita, menulis, berangan, bermimpi tentang saya. Dunia kita akan berbeda. Kamu hidup di jalanmu dan saya hidup di – meski – bukan jalan saya namun harus saya jalani. Tidak perlu menemui saya walaupun kamu ingin saya mencicipi kue buatanmu. Besok saya pergi, tunggu sepuluh tahun lagi saya kembali. Kalau kamu mau, jangan mengganti nomor ponselmu. Mungkin aku akan tinggal beberapa hari di rumah baru bersama suamimu sampai aku mendapatkan rumah sendiri.’ Aku sempat berkilah namun Ibu malah menyuruhku meniup lilin. Banyak hal yang akan berubah. Tetapi tidak dengan aku yang akan terus mengukir Ibu di hatiku.”



Ya, satu yang baru kusadari berubah adalah Ibu memanggil dirinya di depanku dengan kata ‘saya’, bukan ‘Ibu’. Ia seakan memaksaku menganggap dirinya bukan siapaku lagi. Dia orang lain. Dia bukan Ibu. Dia adalah ‘saya’. SIAL!



Ini semua karena pengacara dan pak hakim itu. Mereka semua goblok! Kuliah dimana sih sampai bisa memasukkan Ibu ke penjara dengan tuntutan yang tidak masuk akal?



Ibu menjadi tersangka di kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di sebuah bank daerah. Bukan bank yang terkenal. Namun bisa-bisanya melaporkan Ibu tersangkut paut dengan kejadian yang kini menjadi artis di program berita nasional!



Iya benar. Ibu jadi artis bukan karena video lipsing-nya melainkan karena bapak yang duduk di kursi tertinggi meja hijau, karena tuntutannya yang bohong. Ibu ada di mana-mana. Di televisi, di frekuensi AM, di lapak-lapak Koran, di mulut-mulut pengusaha, di website-website, di rekaman amatir, di pikiran-pikiran penikmat warung tegal. Bahkan di celotehan tetangga sebelah yang masih SD. Keeksisan Ibu melebihi penyanyi terkenal yang baru saja dikabarkan menjadi gembong distribusi narkotika di Sleman, bahkan melebihi Presiden.



Dan semua media membuat Ibu tak semuda biasanya. Lihat saja. Ibu tampak langsing padahal sedang tidak diet. Brownies buatanku hanya ia makan segigit lalu dibiarkannya lalat menikmatinya. Tulang clavicle-nya kini terbentang tak indah di bahunya. Rambutnya tak ia rawat. Polesan make up asli Paris tak mampu lagi menyihir keluar aura kecantikan Ibu. Matanya sayu, bengkak, dan gelap. Ada hitam di lingkaran matanya. Bibirnya terkadang kutemukan bergetar hebat tanpa sebab.



Ibu syok. Ibu berhak begitu. Atas tudingan yang tak ia lakukan, Ibu berhak marah. Namun hukum membungkam mulutnya. Dan juga mulutku. Kami tak dapat menyangkal, atau kami berdua yang akan masuk penjara dengan tuntutan membiarkan tersangka bebas dan menutupi kebenaran. BAH! Kebenaran apanya? Kebenaran yang tak dibela hukum. Hukum yang tidak membela kebenaran. Hukum yang dipermainkan uang. Asu!



Aku hanya boleh pasrah. Ibu juga. Kami wanita korban pemfitnahan. Menyedihkan.



Aku sering marah pada diriku sendiri. Pada namaku. Marah dengan Kirana. Kesal dengan ‘sinarnya cantik dan molek’. Kenapa? Karena aku tak dapat menyinari Ibu yang gelap karena hukum. Semakin kusinari, semakin gelap matanya. Semakin menyedihkan hidupnya. Semakin terbebani punggungnya.



Nama. Kamu sangat kubenci. Kirana. Kamu namaku tapi bukan aku.



Kenapa ia tak memberiku nama Bisiman saja? Kubaca di website arti nama-nama aneh, Bisiman adalah ‘suka sibuk terus’. Kutaksir ini berasal dari kata ‘busy man’. Meski aneh dan dan terkesan plesetan, namun aku rela kok mengganti nama. Sehingga aku selalu sibuk dan tidak sempat memikirkan Ibu sampai sepuluh tahun mendatang. Boleh kuganti namaku, Kirana menjadi Bisiman? Memang bukan nama perempuan, tapi aku suka kesibukan dan menghilangkan Ibu sejenak dari pikiranku. Seperti yang dia peringatkan.



Selama aku menulis ini, deruman mobil yang tak lama lagi disita menggema di rumah kami. Ibu telah pergi. Aku tak ingin mengantarnya ke lembaga pemasyarakatan. Bisa-bisa aku tak kembali ke rumah saking tak mau lepasnya dari Ibu. Kubilang aku manja, kan?



Rumah sebesar ini telah ditinggalkan Ibu. Sebentar lagi aku juga mengosongkannya. Aku akan mengungsi ke rumah nenek dan melanjutkan studiku di Melbourne. Setelah lulus aku ingin bekerja di sana. Apa saja. Konsultan desainer, penjahit, pemiliki warteg, pengemis, penyanyi, penulis. Apa saja akan kulakoni. Kutabung duit untuk kembali ke Banten. Mencari suami, membeli rumah, menunggu Ibu sampai masa tahanannya berakhir.



Ya, itulah rencana hidupku sepuluh tahun mendatang. Semuanya kukembalikan kepada Tuhan, seperti aku menitipkan Ibu kepadaNya.



Eh, aku lupa kresek hitam yang tadi diberikan Ibu.

Aaaaahh… aduh, air mataku membanjir.

Donat gula, pisang goreng, dan risoles sayur pasar Subuh.

Suguhan terakhir Ibu. Kuhabiskan donat gula dalam tiga gigit saja. Ah sial. Baru setengah jam ditinggal Ibu, aku sudah kangen. Bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpanya selama sepuluh tahun? Mau dikejar juga tak terkejar. Ibu pasti mendekati Cipinang.



Aku harus berhenti memikirkannya. Kalau tidak, itu akan membuatnya memikirkanku. Cukup dirinya saja yang ia pikirkan. Aku harus berhenti memikirkan Ibu. Aku akan menjadi Bisiman meski aku Kirana.